Bencana banjir bandang yang menghancurkan Jember pada awal tahun 2006 masih terukir dalam ingatan sebagai salah satu tragedi lingkungan paling kelam di Jawa Timur. Peristiwa nahas yang terjadi pada 1 Januari 2006 di Kecamatan Panti, Jember, ini menelan banyak korban jiwa dan menyebabkan kerugian material yang besar. Meskipun curah hujan ekstrem menjadi pemicu langsung, akar masalah utama bencana ini diyakini oleh banyak pihak disebabkan oleh penebangan hutan di daerah hulu.
Curah hujan tinggi memang mengguyur wilayah Jember dan sekitarnya pada periode tersebut, dengan intensitas yang mencapai puncaknya pada hari kejadian. Namun, hujan deras saja tidak akan menimbulkan dampak separah itu jika tidak diiringi oleh kondisi lingkungan yang rentan. Hutan di daerah hulu, terutama di lereng Gunung Argopuro, memiliki peran krusial sebagai penahan air dan penjaga struktur tanah. Pohon-pohon dengan akarnya yang kuat berfungsi menyerap air hujan dan mencegah erosi.
Sayangnya, laporan pasca-bencana dan analisis dari berbagai pihak mengindikasikan adanya kerusakan signifikan pada kawasan hutan di hulu. Penebangan hutan secara liar atau tidak terkendali telah menggunduli sebagian besar vegetasi di sana. Akibatnya, ketika hujan deras turun, tidak ada lagi benteng alami yang mampu menahan debit air. Air hujan langsung meluncur deras ke bawah, membawa serta material tanah, bebatuan, dan sisa-sisa kayu yang membentuk lumpur pekat dan aliran debris.
Aliran massa inilah yang kemudian menjadi banjir bandang yang menghancurkan. Sungai-sungai seperti Sungai Kaliputih dan Sungai Dinoyo tidak mampu menampung volume air dan material yang datang secara tiba-tiba dan dalam jumlah sangat besar. Tanggul jebol, perkampungan di bantaran sungai diterjang, dan rumah-rumah hancur porak-poranda dalam sekejap mata. Dampak terparah terjadi di desa-desa yang berada di kaki gunung dan jalur aliran sungai.
Tragedi Banjir Jember 2006 menjadi pengingat yang menyakitkan tentang betapa vitalnya fungsi hutan dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Ini menegaskan bahwa kerusakan lingkungan di daerah hulu akan selalu memiliki konsekuensi serius bagi masyarakat di hilir. Peristiwa ini juga mendorong kesadaran akan pentingnya reboisasi, penegakan hukum terhadap illegal logging, serta edukasi mitigasi bencana bagi masyarakat, agar tragedi serupa tidak terulang di masa depan.