Arkeologi Bawah Laut: Penemuan dan Pelestarian Cagar Budaya Maritim Indonesia

Indonesia, yang terletak pada jalur perdagangan maritim kuno dunia, memiliki kekayaan arkeologi bawah laut yang tak ternilai. Lautan nusantara menyimpan ribuan bangkai kapal kuno yang membawa harta karun sejarah berupa keramik, logam mulia, dan artefak yang berasal dari berbagai peradaban, mulai dari Dinasti Tang hingga kapal dagang Eropa. Penemuan-penemuan ini menegaskan peran sentral Indonesia dalam jaringan perdagangan global selama berabad-abad. Namun, upaya Pelestarian Cagar Budaya Maritim ini menghadapi tantangan besar, terutama dari kegiatan penjarahan ilegal dan kerusakan alami oleh arus laut. Komitmen terhadap Pelestarian Cagar Budaya ini memerlukan sinergi antara teknologi survei modern, regulasi yang kuat, dan penegakan hukum yang tak kenal kompromi.


Kekayaan Arkeologi dan Tantangan Penemuan

Arkeologi bawah laut telah mengungkap bukti-bukti sejarah yang luar biasa. Salah satu penemuan penting adalah bangkai kapal yang diyakini berasal dari abad ke-10 di perairan Kepulauan Riau, yang berisi ribuan keping keramik Tiongkok dan artefak logam. Penemuan ini, yang didokumentasikan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) pada tahun 2023, membuktikan adanya jalur sutra maritim yang ramai melalui Selat Malaka.

Tantangan dalam penemuan artefak ini bukan hanya terletak pada kedalaman laut, tetapi juga pada kondisi perairan yang berlumpur dan arus yang kuat. Survei saat ini mengandalkan teknologi canggih seperti Side-Scan Sonar dan Magnetometer untuk memetakan dasar laut. Data yang dihasilkan dari survei ini menjadi dasar bagi tim arkeolog bawah laut untuk melakukan ekskavasi yang sangat hati-hati, memastikan bahwa konteks historis dari setiap artefak tidak rusak, sebuah prinsip dasar dalam Pelestarian Cagar Budaya.


Ancaman Penjarahan dan Penegakan Hukum

Ancaman terbesar bagi situs-situs arkeologi bawah laut adalah penjarahan. Tingginya nilai jual artefak kuno di pasar gelap internasional mendorong praktik penyelaman ilegal yang merusak situs secara permanen. Penjarahan tidak hanya menghilangkan artefak, tetapi juga menghancurkan konteks sejarah yang sangat penting untuk penelitian ilmiah.

Untuk mengatasi ini, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), melalui Direktorat Polisi Perairan dan Udara (Ditpolairud) Baharkam, telah meningkatkan patroli dan pengawasan siber terhadap perdagangan gelap artefak. Pada operasi khusus yang dilakukan pada Kamis, 19 Maret 2025, di perairan Sulawesi Selatan, Ditpolairud berhasil menangkap 4 pelaku penjarahan yang kedapatan membawa keramik kuno yang berasal dari bangkai kapal era VOC. Kepala Ditpolairud, Brigjen Pol. Drs. Ahmad Subagyo, S.H. (bukan nama sebenarnya), menegaskan bahwa koordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan terus diperkuat untuk melindungi zona-zona yang teridentifikasi sebagai situs cagar budaya maritim.


Konservasi dan Digitalisasi Artefak

Setelah diangkat dari dasar laut, artefak memerlukan proses konservasi yang rumit untuk menstabilkan material dari efek air asin dan korosi. Proses ini seringkali memakan waktu berbulan-bulan dan harus dilakukan oleh konservator spesialis di laboratorium yang terkontrol.

Untuk kepentingan penelitian dan edukasi publik, pemerintah juga mendorong digitalisasi temuan. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menargetkan bahwa pada akhir tahun 2025, seluruh data dan citra resolusi tinggi dari 10 situs kapal karam prioritas akan tersedia dalam bentuk database digital 3D. Upaya digitalisasi ini tidak hanya membantu Pelestarian Cagar Budaya secara fisik, tetapi juga memastikan bahwa warisan maritim Indonesia dapat diakses oleh peneliti global, sekaligus meningkatkan kesadaran publik akan kekayaan sejarah bawah laut bangsa.

journal.pafibungokab.org

learn.pafipemkotkerinci.org

news.pafipemkotpalopo.org