Tenaga Kerja: Polemik Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Respon Serikat Pekerja

Isu mengenai ketenagakerjaan kembali memanas seiring bergulirnya wacana Polemik Revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Upaya penyesuaian regulasi ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih menarik, sekaligus menyediakan payung hukum yang adaptif terhadap dinamika pasar kerja global dan tuntutan kemandirian finansial pekerja di masa depan. Namun, langkah ini segera memicu Polemik Revisi yang sengit, terutama dari kalangan serikat pekerja. Mereka khawatir bahwa perubahan undang-undang tersebut justru akan mengikis hak-hak dasar pekerja yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun, terutama terkait upah, pesangon, dan status hubungan kerja.

Poin utama yang menjadi sorotan dalam Polemik Revisi ini adalah rencana perubahan pada mekanisme penetapan upah minimum dan aturan tentang kontrak kerja waktu tertentu (PKWT). Pihak pengusaha, melalui Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), berpendapat bahwa formula upah yang lebih fleksibel diperlukan agar perusahaan, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dapat bertahan di tengah tekanan ekonomi. Sementara itu, serikat pekerja menanggapi dengan keras. Ketua Federasi Serikat Pekerja Merdeka (FSPM), Bapak Darma Wijaya, S.H., M.H., dalam demonstrasi damai pada Rabu, 23 Oktober 2025, menyatakan bahwa revisi tersebut berpotensi meniadakan kenaikan upah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, yang secara langsung mengancam daya beli dan kemandirian finansial jutaan pekerja.

Selain upah, isu kontrak kerja juga krusial. Rencana untuk memperluas jenis pekerjaan yang dapat dipekerjakan melalui PKWT dikhawatirkan akan mengurangi peluang pekerja untuk mendapatkan status karyawan tetap. Status karyawan tetap merupakan kunci akses terhadap jaminan sosial dan pesangon yang memadai. Menurut catatan Kementerian Ketenagakerjaan per 30 September 2025, rata-rata masa kerja pekerja non-permanen di sektor manufaktur hanya mencapai 18 bulan, jauh di bawah standar ideal untuk membangun kemandirian finansial. Untuk menjamin proses berjalan transparan, Komisi IX DPR RI telah membentuk tim panitia khusus yang bertugas menampung aspirasi dari tiga pihak: pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Tim ini ditargetkan menyelesaikan kajian final pada akhir November 2025.

Dalam menghadapi Polemik Revisi yang kompleks ini, solusi ideal harus berada di tengah. Pemerintah harus memastikan bahwa tujuan menarik investasi tidak boleh mengorbankan kesejahteraan dan kepastian kerja. Regulasi yang baru harus mencerminkan perlindungan yang kuat terhadap hak-hak dasar pekerja, sekaligus memberikan ruang bagi adaptasi bisnis, sehingga kedua belah pihak dapat mencapai titik temu. Hanya dengan dialog tripartit yang jujur dan berimbang, Undang-Undang Ketenagakerjaan yang direvisi dapat menjadi instrumen yang mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan menjamin kemandirian finansial bagi seluruh tenaga kerja Indonesia.

journal.pafibungokab.org

learn.pafipemkotkerinci.org

news.pafipemkotpalopo.org